LAZNAS Dewan Dakwah - Sugiatno S.H., nama lengkapnya, namun ia akrab di sapa ustadz Sigit, laki-laki paruh baya yang sudah 20 tahun lebih mengabdikan diri di tanah yang jauh dari tempat lahirnya.
"Saya belajar agama secara otodidak," ucap laki-laki kelahiran Bali tersebut mengawali cerita panjang perjalanannya menjelajahi pedalaman bumi Sulawesi.
Merupakan satu-satunya anak di keluarganya yang peduli dengan agama, ustadz Sigit rajin mengikuti liqa' karena keingintahuannya yang besar terhadap ilmu. Dari sanalah ia belajar dan mengenal Islam lebih dalam. Pengajian-pengajian kecil tersebut kemudian mengantarkannya pada pengabdian dakwah yang tak kenal batas hingga saat ini.
Di pedalaman Morowali Utara, dakwah ustadz Sigit berakar. Berbeda dengan dakwah pada umumnya, ia mengawali dakwah tidak melalui ceramah, melainkan dengan pendekatan gotong royong kepada masyarakat. Ia berbaur, berkebun, dan bercocok tanam bersama orang-orang pedalaman.
Ia tidak langsung mengajak orang-orang yang baru dikenalnya itu memeluk Islam dengan serta merta. Terlebih bahasa menjadi penghalang utama komunikasi mereka. Karena itu ia hanya hadir di tengah-tengah mereka dan saling berkomunikasi dengan isyarat dan perasaan.
Kehadiran ustadz Sigit di antara orang-orang pedalaman semakin hari semakin terasa. Komunikasi antara mereka semakin terjalin, ustadz Sigit mengerti bahasa mereka, dan mereka mengerti berbahasa Indonesia. Hingga perlahan-lahan rasa penasaran mereka terhadap rutinitas ustadz Sigit pun tumbuh.
"Mereka mengerumuni dan memandangi saya ketika saya shalat, mereka penasaran apa yang saya kerjakan dan mengapa saya melakukan itu," tutur ustadz Sigit
Penduduk pedalaman Morowali utara rata-rata menganut kepercayaan lokal, apa yang dikerjakan ustadz Sigit adalah hal yang baru bagi mereka. Karena itu dakwahnya lebih mengena karena rasa penasaran yang muncul langsung dari orang-orang pedalaman tersebut.
Akhirnya perlahan-lahan ustadz Sigit menjelaskan kepada mereka tentang Islam. Mulai dari tauhid atau mengenal Tuhan, arti shalat beserta syarat dan rukunnya, bacaan-bacaan shalat dan artinya. Mereka sangat tertarik dan ingin mempraktikkan shalat.
Ustadz Sigit menjelaskan bahwa untuk bisa shalat mereka harus bersyahadat terlebih dahulu. Akhirnya mereka, penduduk pedalaman berbondong-bondong bersyahadat untuk ikut shalat. Setelah kejadian gelombang pertama itu, lebih banyak dari mereka yang tertarik memeluk Islam. Bahkan pernah mereka bersyahadat masssal, 300 orang dalam satu waktu.
Tidak hanya membawa cahaya agama, ustadz Sigit juga mengajar mereka untuk hidup berkelompok, mengembalikan fitrah mereka sebagai makhluk sosial. Sebelumnya orang-orang pedalaman ini hidup berpindah-pindah tempat atau nomaden. Mereka akan menetap sebentar di manapun mereka mendapatkan sumber makanan.
Karena itu ustadz Sigit mengajarkan kepada mereka untuk hidup berkelompok dan menetap di satu wilayah. Mereka dibina untuk berkebun, membangun rumah, memasak dengan layak, dan berbagai hal lainnya.
"Dari sinilah kita berpikir untuk membuat rumah bagi mereka, membangun masjid, dan lain-lain. Alhamdulillah, rumah-rumah penduduk meski bentuknya sangat sederhana, bisa berdiri. Begitupun beberapa wilayah pedalaman akhirnya memiliki masjid," terangnya.
Akhirnya di wilayah pedalaman tersebut terbangun rumah-rumah yang membentuk perkampungan, berdiri masjid yang menyuarakan adzan, dan sekolah-sekolah yang mengenalkan dunia pada anak-anak pedalaman.
Hidup di pedalaman selalu memilki kisah uniknya sendiri, terlepas dari medan berat yang harus ditempuh sang dai, penolakan juga pernah diterimanya, hingga rumahnya pernah dilempari batu, bahkan ia hampir dibuang ke laut. Belum lagi pola tingkah laku orang-orang pedalaman yang sangat khas dan menuntut kesabaran yang sangat luas.
Suatu ketika ia dan temannya menerima jamuan dari salah seorang warga pedalaman. Ia melihat sendiri proses mereka memasak nasi. Nasi yang belum matang itu diaduk menggunakan tongkat, namun beberapa kali tongkat yang sama dipukulkan ke anjing yang lewat di dekat dapur itu.
Keraguan muncul di antara mereka, harus memakan jamuan itu atau menolaknya. Teman-temannya pun meminta pendapat ustadz Sigit,
"Harus kita makan, kalau tidak mereka akan kecewa. Allah Maha Melihat," jawabnya. Akhirnya mereka memutuskan tetap menerima jamuan tersebut.
Ada lagi kisah lain yang ia ceritkan, yakni ketika itu ia membawa sabun yang bergambar jeruk, mangga, dan buah-buahan lain. Melihat barang yang warna warni itu, orang-orang pedalaman mengambil dan memakannya hingga ustadz Sigit kaget. Lebih mengejutkan lagi ketika mereka ditanya bagaimana rasanya, mereka justru menjawab, "Enak."
Sikap ustad Sigit yang mencerminkan kesebaran yang luas itu menjadi contoh bagi para dai muda yang kini mengemban amanah dakwah di berbagai daerah di pelosok. Pendekatan hikmah dan akhlak mulia yang ia lakukan membuat dakwahnya diterima dan menjadi perantara hadirnya hidayah di hati orang-orang pedalaman.
Kini, ratusan penduduk pedalaman Morowali Utara telah menjadi mualaf berkat dakwah ustadz Sigit. Perjalanan panjang dakwah selama 20 tahun itu membuahkan hasil yang sangat indah. Namun tidak berhenti sampai di sana, penduduk pedalaman yang telah ber-Islam tersebut mmebutuhkan bimbingan berkelanjutan. Kareana itu Dewan Dakwah rutin mengirimkan dai muda setiap tahunnya untuk membimbing mereka.
Ustadz Sigit menjadi contoh nyata bahwa seorang dai tidak hanya harus mumpuni dalam ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu lainnya, ilmu pertanian, ilmu ekonomi, ilmu hukum, singkatnya dai dipandang serba bisa oleh masyarakat.
"Seorang dai itu adalah pemberi solusi dalam masalah kehidupan, bila ada satu masalah maka harus ada 99 solusinya," tutupnya.