Menembus Badai, Lumpur, dan Gelap: Perjalanan Dakwah Ustadzah Rika di Mentawai

Dipublikasikan : 11 Des 2025

Menembus Badai, Lumpur, dan Gelap: Perjalanan Dakwah Ustadzah Rika di Mentawai

LAZNAS Dewan DakwahHari telah petang ketika kapal kayu itu perlahan meninggalkan pelabuhan Padang, Angin laut menerpa wajah para penumpang, sementara gelombang tak henti-hentinya menghantam lambung kapal. Ustadzah Rika Wati, daiyah muda Dewan Dakwah menjadi salah satu penumpang kapal yang akan berlayar ke Kepuluan Mentawai itu.

Perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam 12 jam, terpaksa molor menjadi 18 jam karena badai. 

“Tiga belas kali saya muntah,” tuturnya sambil tertawa kecil ketika bercerita mengingat betapa hebatnya gelombang malam itu. Bahkan untuk shalat pun ia harus berdiri karena tubuhnya tak sanggup lagi duduk.

Setibanya di pelabuhan Mentawai, semua rasa lelah seakan luruh. Umi Puji Astuti, Ustadz Agus, Ustadzah Selvi dan Ustadzah Kudsiah, dai daiyah Dewan Dakwah yang telah lebih dulu bertugas  menyambutnya dengan hangat sebagai keluarga baru.

Mentawai yang Ternyata Tidak Sesunyi Bayangannya

Dalam benaknya, Mentawai masih jauh dari peradaban, tanpa jaringan, gelap dan penduduknya kurang ramah.

“Kondisi di Mentawai ternyata tidak semenyeramkan yang saya bayangkan sebelumnya. Lingkungannya tenang dan masyarakatnya ramah meskipun anak-anak di sini cenderung cuek di awal,” kata daiyah muda asal Serang itu. 

Pondok Pesantren Darul Ulum Mentawai di Sikakap menjadi lokasi tugasnya untuk mengabdi. Berdiri sejak tahun 2012, Ponpes itu menjadi pusat pembinaan generasi muslim di tengah mayoritas penduduk non muslim Mentawai. Kini Ponpes itu memiliki 80 santri dan ratusan alumni.

(Daiyah Dewan Dakwah dan Warga Sikakap, Kep. Mentawai)

Satu Tungku untuk Semua
Ponpes itu memiliki asrama santri dan santriwati yang lokasinya lumayan berjauhan. Sayangnya, asrama santriwati belum memiliki dapur yang layak. Dapurnya dari kayu tua yang sudah reot dan menghitam di sana-sini, tak jarang anjing masuk ke dapur untuk mencari sisa makanan.

Sebanyak 58 santriwati di asrama itu memasak terjadwal menggunakan satu tungku yang sudah bertahun-tahun tidak diganti.

“Gas mahal banget di sini,” ujar daiyah Dewan Dakwah itu sambil tertawa kecil dengan wajah yang menahan haru

Lauk di Makan Anjing
Lauk yang sudah susah payah dimasak disimpan di dalam lemari kayu rapuh yang kadang tak bisa dikunci. Tak jarang lauk itu di embat anjing, menyisakan santriwati yang makan nasi tanpa lauk.

Tidak jarang pula mereka terpaksa memakan lauk yang sudah mulai basi. Sesekali, jika ada uang, anak-anak itu membeli kerupuk. 

Santri ikhwan yang letak asramanya cukup jauh kadang datang mengantarkan lauk tambahan.



(Dapur Asrama Akhwat Ponpes Darul Ulum Mentawai)

“Saya pernah buang bekas snack yang agak basi ke tempat sampah, ternyata mereka ambil untuk dimakan, hanya tersisa mikanya saja di tong sampah,” cerita Ustadzah Rika sambil meneteskan air mata.

“Pernah juga teman saya buang sikat gigi bekas, eh sikat gigi itu besoknya ada di kamar mandi santri,” lanjutnya

Listrik dan Jaringan yang Padam Berhari-Hari
Hari-hari di Mentawai cukup padat. Senin hingga Sabtu Ustadzah Rika mengajar di MA Darul Ulum. Senin Selasa selepas Dzuhur ia mengajar mengaji di MTs Darul Ulum. Senin hingga Jumat setelah Ashar mengisi halaqoh tahfidz. Sabtu dan Ahad sore ia berdakwah di dusun-dusun mualaf yang jaraknya jauh dari asrama Ponpes. 

Di tengah kesibukan itu, ia harus berkutat dengan jaringan dan listrik yang seringkali tidak bersahabat bahkan padam hingga berhari-hari.

“Waktu itu saya sedang mengajar mengaji, anak-anak sedang semangat-semangatnya, tiba-tiba lampu padam. Malam itu kami belajar hanya bermodalkan senter HP, anak-anak berkumpul di satu titik agar cahayanya cukup untuk semua,” kenangnya.

Malam itu listrik padam hingga enam hari lamanya.


(Santri Ponpes Darul Ulum Mentawai Belajar di Tengah Gelap)

Jaringan yang kurang memadai terkadang menghambatnya dalam mengisi kelas. Karena materi yang ia sampaikan bermodalkan PDF yang butuh akses internet. Buku-buku pelajaran cukup terbatas di sana.

Kendala listrik dan jaringan tidak hanya menghambat pembelajaran, tapi juga komunikasinya dengan keluarga di kampung halamannya.

Dakwah di Kampung Mualaf
Sore itu seperti biasa Ustadzah Rika dan rombongan berangkat menuju kampung mualaf untuk melakukan pembinaan. Kampung itu terletak jauh di balik bukit. 

Kampung mualaf Dusun Taikkako. Jaraknya hampir dua jam menggunakan motor. Mereka harus menempuh jalanan berlumpur yang tidak jarang menenggelamkan motor bahkan hingga mogok. 

Di perjalanan, motor beat tanpa lampu yang mereka kendarai tiba-tiba mogok hingga akhirnya tenggelam dalam kubangan lumpur. Namun perjalanan menuju dusun mualaf itu tetap berlanjut.

“Dengan pakaian kotor dan tenaga yang semakin menipis kami saling menguatkan dan memutuskan tetap lanjut dengan mendorong motor. Semua kesulitan terbayar, rasa lelah langsung hilang ketika sampai di kampung mualaf anak-anak menyambut dengan senyum, dan para warga menunggu untuk belajar,” Ustadzah Rika bercerita.

Empat orang anak telah menunggu mereka di Masjid At Taqwa Dusun Taikkako dengan senyum manis mereka.

Mualaf Kampung Dusun Matobek: Seperti Menemukan Cahaya untuk Hidup
Ahad sore, waktunya Ustadzah Rika mengajar di Dusun Matobek. Kampung mualaf satu itu lebih dekat dibanding Dusun Taikkako. Hanya 30 menit mengeggunakan motor.

Di masjid Nurul Ikhsan pembinaan itu berpusat. Dulu awal-awal mengajar di sana, ada 3 orang anak yang rutin hadir, kini sudah bertambah 2 orang. Ibu-ibu juga mulai hadir dan ikut belajar mengaji.  

Salah seorang ibu mualaf bercerita kepadanya dalam bahasa Mentawai bercampur bahasa Indonesia.

Ibu itu baru seminggu menjadi muslim. Masuk Islam adalah keputusan terbaik yang pernah ia ambil dalam hidupnya. Ia merasa kembali menemukan cahaya yang selama ini entah ada di mana.

Dengan segala keterbatasan, ibu itu dengan semangat tinggi mengeja alif, ba, ta, tsa dan pelan-pelan mendalami Islam.

“Dari sana saya belajar dan sadar bahwa ternyata kita yang sudah islam dari lahir, kenapa malas sekali untuk beribadah, malas untuk mendalami islam, sedangkan mereka yang mualaf sebegitu bersemangatnya,” ungkapnya.

Ustadzah Rika dan rombongan meninggalkan Matobek begitu hari sudah gelap. Motor beat tanpa lampu yang mereka kendarai harus dibantu cahaya senter dari HP agar tak tersesat atau terhambat di jalanan.


Dari Dua menjadi 19 Santri
Sudah 2 tahun di Darul Ulum tidak ada lagi program Tasmi santriwati. Kehadiran Ustadzah Rika menghidupkan kembali program tersebut. Halaqoh yang berisi anak-anak binaannya Alhamdulillah semunya ikut di Tasmi. 19 anak akhirnya bisa ikut Tasmi.

Warna Warni Mentawai

(Santri Ponpes Darul Ulum Mentawai Belajar di Pinggir Pantai)

Mentawai memiliki bahasa lokal sendiri, para santri pun sering menggunakan bahasa Mentawai. Karena berasal dari Serang dan baru beberapa bulan mengabdi, Ustadzah Rika masih beradaptasi dengan bahasa mereka. 

“Pernah suatu kali kami di pasar, saat belanja ibu penjualnya menggunakan bahasa Mentawai, dan kami cuma cengo karena tidak paham,” katanya.

Mentawai menyimpan potensi alam yang Indah, tak jarang dijadikan sebagai objek wisata bahari. Karena itu Daiyah Dewan Dakwah tersebut juga memanfaatkan keindahan alam mentawai untuk mengajar.

Tidak hanya di ruang kelas, tapi juga di bawah pohon-pohon rindang, di pinggir pantai, hingga di atas perahu yang masih tertambat. Dakwah di Mentawai begitu berwarna.

Para dai dan daiyah yang dibiayai oleh donatur LAZNAS Dewan Dakwah telah membawa perubahan nyata di berbagai wilayah di penjuru negeri. Yuk, jangan lewatkan kisah dai dan daiyah muda lainny dalam Membangun Negeri dari Pedalaman.

Turut ambil bagian dalam perubahan besar. Sampaikan donasi kegiatan dakwah sahabat melalui LASNAS Dewan Dakwah.

---
Oleh: Nur Aisyah

Bagikan :

Berita Lainnya

Artikel Sejenis