LAZNAS Dewan Dakwah - Gharim merupakan salah satu asnaf zakat. Gharim artinya orang yang memiliki tanggungan hutang. Dalam praktik membayar zakat di masyarakat, seringkali orang yang menghutangkan, membayar zakatnya dengan cara membebaskan hutang pihak yang menghutanginya. Sehingga mustahiq terbebas dari hutangnya, dan muzakki menunaikan kewajibannya.
Dalam pandangan beberapa ulama, dan merupakan pendapat yang lebih kuat (tarjih) praktik seperti ini dianggap tidak sah. Hal ini dikarenakan dalam praktik pembayaran zakat harus ada proses serah terima antara muzakki dengan mustahik.
Dalam fikih dikenal istilah Ittihadul qabidh wal muqbidh (peran menerima sekaligus memberikan barang oleh satu orang) yang tidak diperbolehkan. Karena menerima dan menyerahkan barang oleh orang yang sama dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Potensi kecurangan akan sangat besar terjadi.
Maka prinsip ini juga berlaku dalam hal penunaian zakat dari pembebasan hutang. Menurut Syekh Zakaria al-Ansari dan juga pendapat yang lebih kuat, membayar zakat dengan cara membebaskan hutang seseorang hukumnya tidak mencukupi sebagai zakat, sehingga tidak boleh alias tidak sah untuk dilakukan.
Apabila piutang tersebut ingin digunakan untuk berzakat, maka menurut beberapa pendapat yang kurang kuat, dapat dilakukan dengan menempuh jalan sebagai berikut.
Pihak yang berhutang harus melunasi hutangnya terlebih dahulu, baru kemudian muzakki bisa mengeluarkan zakat dari piutang yang telah dibayarkan kepada orang yang pernah berhutang tersebut. Dengan kata lain, harus ada proses serah terima pelunasan hutang terlebih dahulu. Barulah harta terebut mencukupi dan sah sebagai zakat.
Dengan itu, terpenuhi syarat serah terima zakat dari muzakki kepada mustahik. Atau sebaliknya, apabila zakat yang diberikan oleh muzakki diniatkan untuk membayar hutang oleh mustahik, maka pembayaran zakatnya termasuk sah karena tidak adanya kesepakatan atas pengembalian harta zakat.
Namun adapula ulama yang berpendapat bahwa pembayaran zakat dalam bentuk pembebasan hutang adalah sah, tidak harus didahului dengan serah terima pelunasan hutang. Hasan al-Bashri mengungkapkan,
"Ketika orang yang tidak mampu punya tanggungan hutang pada seorang laki-laki, dan laki-laki tersebut menjadikan hutang itu sebagai zakat, maka laki-laki tersebut berkata : Aku menjadikan hutang yang kamu tanggung sebagai zakatku."